Setiap hari, bisa lahir berpuluh kelompok teater plus AD/ART-nya. Memang semudah itu. Hanya perlu sedikit keberanian (atau kenekatan), beberapa pendukung dan rencana pementasan. Mungkin pementasan bisa dilaksanakan. Lalu, sesudah itu? Bagaimana kelanjutannya? Mampukah kelompok berdiri ajeg di bawah hempasan badai waktu? Mampukah terus melahirkan seni pentas yang semakin berkualitas seiring pengalaman-batin dan usia? AD/ART bukan jawaban dari masalah. AD/ART hanya benda mati berupa sekumpulan aturan. Sedang kegiatan kreatif selalu bergantung kepada manusianya, senimannya.

    Teater lahir karena kebutuhan mewujudkan rasa estetik. Keindahan. Itu salah satunya. Kebutuhan yang lain adalah, ‘ingin menyampaikan sesuatu’. Pementasan, sebagai jawaban dari ‘keinginan menyampaikan sesuatu’ itu, sebaiknya lahir karena kebutuhan yang sifatnya lebih kultural. Jika kebutuhan ‘menyampaikan sesuatu’ itu hanya terdorong oleh sesuatu yang di luar kesenian, materi misalnya, maka boleh dibilang kegiatan itu tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Lalu bagaimana caranya agar kelompok teater tidak mati muda? Padahal, kebutuhan artistik (juga pembiayaan) dari waktu ke waktu bergerak terus? Luwes, itu jawabannya.

    Saya punya pengalaman unik saat melakoni masa persiapan produksi Rumah Kertas, pentas perdana Teater Koma itu. Ajakan-ajakan saya kepada beberapa seniman tak dipercaya begitu saja. Niat mendirikan kelompok teater baru, nyaris  dicurigai. Seakan-akan saya hendak mendirikan partai baru. Ketika beberapa seniman kemudian ikrar bergabung, masalah yang timbul berbeda pula. Setiap saat, kemampuan saya menyutradarai selalu diuji. Naskah yang sudah ada, seringkali drama karya saya sendiri, juga seringkali tidak begitu memuaskan dan harus selalu dikoreksi.

    Di lapangan, banyak benturan saya temui. Sebagai penulis, pendekatan saya lebih condong kepada imajinasi. Padahal, kenyataan panggung dan kemampuan para aktor juga harus dipertimbangkan. Belum lagi kemampuan pembiayaan yang harus diperhitungkan pula. Sebagai sutradara, saya harus menimbang banyak hal dari berbagai sudut. Dan tanpa ragu saya bisa merombak naskah, disesuaikan kembali berdasar kenyataan lapangan. Untunglah, untuk itu saya tak perlu meminta izin. Tapi segala peristiwa di dalam perjalanan proses kreatif itu, saya anggap sebagai sekolah. Saya menyerap semua masalah dan menjadikannya sebagai pembelajaran. 

    Teater Koma tidak lahir di sebuah panggung yang sudah tersedia. Pada masa awal, tempat latihan berpindah-pindah. Mulanya seorang simpatisan menyediakan beranda rumahnya. Jika tamu datang, terpaksa kami menyingkir ke area parkir atau halaman depan. Sering kami berlatih di garasi mobil yang sempit milik seorang anggota. Akhirnya kami berlatih di halaman depan sebuah restoran. Selama masa empat bulan latihan, pada bulan pertama kami harus berganti-ganti pemain. Mereka mengundurkan diri karena tidak tahan berlatih dengan cara nomaden seperti itu.

    Di benak saya, timbul lagi satu kesimpulan. Tempat latihan ternyata bukan hal yang  utama. Yang paling penting, justru, konsentrasi. Dan komitmen. Di dalam latihan, konsentrasi harus tajam dan terarah. Setiap kali latihan, pasti ada penonton tidak resmi yang kemudian berkomentar. Saya mengambil sisi baiknya. Paling tidak, komentar mereka bisa dianggap sebagai uji coba awal sebelum kami menggelar pentas di hadapan masyarakat yang lebih luas.

    Secara sadar saya melatih pemain untuk menghadapi penonton, di sebelah mana pun mereka menonton. Itu prinsip bermain dalam ‘teater arena’. Soal kondisi tempat latihan, kami menerima dengan iklas. Saya selalu mengandaikan penonton ada di sekeliling area permainan. Lalu mencari cara paling efektif agar semua dialog ‘sampai’ ke hati para penonton. Dengan demikian, komunikasi menjadi sangat penting. Itu cara bermain para aktor teater rakyat dalam menghadapi audiens-nya.

    Jika perkembangan Teater Koma disimak, maka nampak jelas kesulitan saya dalam mempersiapkan sebuah pentas. Pemain-pemain saya berasal dari kelompok teater yang berbeda-beda disiplin dan keyakinannya. Cara mereka meyakini dan melatih pendekatan terhadap karakter berbeda pula. Warna dialog mereka, jelas masih milik grup di mana mereka berasal. Tapi saya yakin, bakat mereka besar.

    Saya tidak mengubah cara mereka mengucap dialog, tapi memberikan pemahaman. Manfaat yang bisa saya petik adalah, semua berlomba menyajikan yang terbaik. Suatu persaingan sehat sengaja saya provokasi. Hasilnya optimal. Dalam hampir semua naskah yang saya tulis, selalu ada peluang untuk bermain bagus, sekecil apa pun peran di dalam naskah itu. Peluang itu kemudian digarap dalam penyutradaraan.

    Seringkali, seorang pemain, baru menyadari bahwa perannya sangat bagus, tepat pada malam pertama pementasan. Soal sesudahnya dia bermain bagus atau tidak, itu masalah lain. Yang penting dia sudah menyadari dan selanjutnya tidak akan lagi menganggap remeh peran apa pun. Jika dia mau berlatih dengan keras, apa pun peran yang dimainkan, pasti akan dirasakan juga ‘kehadiran’-nya.  Akan dikenang oleh diri sendiri dan penontonnya.

    Teater Koma memang tidak memulai dari nol samasekali. Aktor-aktrisnya, sebagian besar memiliki pengalaman bermain. Entah di panggung atau di dunia film. Tantangan saya yang terberat adalah menciptakan sebuah kesatuan bahasa pentas, dengan kekayaan yang sumbernya berasal dari berbagai perbedaan. Tujuannya adalah memunculkan daya tarik yang unik dan menggoda. Semangat kerjasama kekeluargaan dan kekompakan, juga harus senantiasa saya kondisikan.  

    Teater yang baik lahir dari ide yang baik, terkonsep, kerjasama, disiplin dan tanggungjawab. Disiplin? Ya, tapi bukan kediplinan yang kaku atau semu. Kegembiraan dalam kebersamaan bekerja, bisa dicipta oleh suasana saling menghargai dan saling mengisi. Kepentingan pertunjukan bukan melulu kepentingan satu individu, melainkan kepentingan kelompok. Jika hal semacam itu berhasil ditumbuhkan, rasanya tak perlu lagi ragu-ragu merencanakan sebuah pementasan.

    Bagi orang teater, kesimpulan di atas juga bukan hal yang baru. Sudah sejak lama  itu diketahui. Tapi makin menekuni kerja teater, semakin saya yakin bahwa hal itulah yang justru berperan sangat penting dalam meraih keberhasilan.

    Ambillah sebagai contoh, sebuah orkes simfoni. Ketika musik dimainkan, apa yang terjadi jika salah satu instrumen (misal, marakas atau triangle) tidak dibunyikan? Dan itu terjadi karena pemegang instrumennya mengantuk atau tertidur?  Akibatnya, seluruh orkestra akan rusak atau cacat. Penonton yang jeli akan pulang dengan membawa kesan buruk. Marakas atau triangle hanya sebuah instrumen yang kecil bentuknya dan nampak seakan tak berarti. Tapi, begitu komposer menetapkan bunyi itu dalam komposisi musiknya, dia memiliki nilai. Dia adalah bagian dari orkes. Dan penting.