Jakarta, 1980.

    Sebelum pementasan ke-empat Teater Koma yang berjudul Kontes 1980, Dewan Kesenian Jakarta menggelar Temu Teater Nasional. Beberapa kelompok teater dari Jakarta dan dari luar Jakarta mengirim kontingen, dan sebagian mementaskan karya teater mereka. Dalam kesempatan itu, digelar pula panel diskusi yang diikuti oleh sutradara-sutradara teater nasional. Para sutradara diminta mengungkapkan konsep berteaternya. Lalu konsep itu didiskusikan.

    Saya menuliskan konsep kesenian Teater Koma.

    Judulnya; Teater Tanpa Selesai. Isinya demikian;

    Dalam suratnya kepada Dewan Kesenian Jakarta sehubungan dengan pementasan pertama Teater Koma, saya menulis; ‘Melihat sekarang ini kegiatan teater kita sangat didominasi oleh teater-teater senior yang nampak tenang dan bahagia  dengan warna teaternya yang semakin khas itu, maka ..’ dan seterusnya.

    Pada tanggal 1 Maret 1977, Selasa Pahing, duabelas seniman yang punya iktikad sama, mendirikan kelompok Teater Koma. Tekad mendirikan kelompok teater, antara lain didorong oleh keinginan menghadirkan tontonan teater yang diharapkan memiliki warna berbeda dengan kelompok teater yang sudah ada.

    Teater Koma belajar dari kelompok-kelompok teater terdahulu. Mungkin bentuk pementasannya merupakan gabungan dari bentuk teater yang sudah ada. Tapi bisa juga bentuknya malah ‘berbeda sama sekali’. Titik tolak pembentukan kelompok, terutama didorong oleh kegelisahan pencarian berbagai kemungkinan lain dan upaya mewujudkannya di atas pentas. Teater Koma menganggap, karya pentas teater yang ada selama ini, belum seluruhnya selesai.

    Teater Koma bisa juga disebut sebagai teater tanpa selesai. Pencarian wujud dan isi teater yang lebih kaya warna, akan menjadi prioritas utama.

    Ada dua tujuan pokok yang menjadi landasan dalam bekerja;

  1. Membentuk kelompok menjadi wadah, semacam workshop, yang berupaya mencari berbagai kemungkinan pengucapan lain. Naskah-naskah drama yang digali kandungan idenya, lebih diutamakan karya para penulis Indonesia. Kemudian, workshop akan diarahkan menuju perencanaan pementasan.
  2. Menyiapkan calon seniman dan pekerja teater yang tangguh. Pembinaan terhadap calon seniman dilakukan secara tak resmi. Intim dan spontan, tapi intensif. Lewat omong-omong dan diskusi. Akan diundang seniman-budayawan di luar kelompok untuk memandu pembahasan sebuah topik yang punya keterkaitan dengan seni-budaya. Akan diselenggarakan pula latihan dasar; olah tubuh, nafas, vokal, dan berbagai pengetahuan teater.    

    Pegangan yang mencipta kegembiraan bekerja adalah kerjasama yang saling menghargai. Tak perlu berikrar terlalu muluk, misal, ‘hidup dan matiku hanya untuk teater’ atau omong kosong lain yang sloganistis. Para anggota diminta untuk tidak berharap banyak dari teater, terutama dari segi pemenuhan materi.

    Dengan kesungguhan hati, meski dalam keterbatasan, karya teater yang baik juga bisa dilahirkan. Anggota kelompok yang terlanjur memiliki pekerjaan di luar teater, kerjanya tak boleh terganggu. Tapi begitu ikrar terlibat dalam kegiatan, dia harus menyediakan (mengelola) waktunya dengan sepenuh hati. Artinya, dia harus mencari akal agar semua jadwal tak terganggu.

    Untuk membuktikan hal itu, Teater Koma menggelar produksinya yang pertama berjudul Rumah Kertas, awal Agustus 1977, di Teater Tertutup TIM. Dalam buklet pementasan, Teguh Karya, pemimpin-guru-sutradara teater dan film yang sangat saya hormati, menulis kata pengantar berjudul Prospek. Salah satu anjurannya, yang kemudian menjadi pegangan adalah; ‘bikin dan lahirkan pembaruan-pembaruan!’.

    Pasti banyak kekurangan dalam pentas Rumah Kertas. Saya tak berani menyatakan,  apa yang disajikan Teater Koma adalah sesuatu yang baru. Barangkali lebih tepat disebut, ‘upaya penggalian berbagai kemungkinan’. Dan apa pun hasilnya, sudah tentu bukan sesuatu yang baru. Bisa jadi, yang dianggap ‘baru’ adalah sesuatu yang pada suatu masa pernah akrab dengan kita. Tapi dilupakan hingga memfosil. Sebab, kata orang, ‘di bawah matahari, tidak ada sesuatu yang baru’.-

    Pernah terjadi, pada suatu masa, kondisi teater kita sungguh tidak masuk akal. Teater ada di awang-awang. Hanya seniman saja yang memahami apa yang dilakukan orang teater. Celakanya, bahkan orang teater pun banyak yang tak paham. Lalu penonton memandang teater sebagai alien yang sukar dipahami dan ‘berbahaya’. Setiap kali menonton kegiatan teater semacam itu, rasanya seperti menyaksikan, maaf, tindakan ‘masturbasi’. Pujian datang dari sesama teman, saudara dan tetangga dekat. Hanya pujian. Tak ada kritik tajam yang bisa dipelajari atau dipakai untuk bercermin.

    Ketika hal itu terus terjadi, teater menjadi ‘benda yang aneh’. Seakan ada di dalam lemari besi terkunci, sulit dijamah dan dijauhi. Di lain sisi, para pekerja teater yang menggelar teater macam itu, merasa yakin karyanya sebagai hasil semedi, lewat dupa, darah dan keringat, seluruh jiwaraga. Tapi mengapa kerja seolah sia-sia? Mengapa seakan-akan hanya sedikit orang saja yang ‘memilikinya’?

    Teater tak boleh terpencil apalagi dipencilkan. Teater bukan alien. Juga bukan pahlawan sakti dan bersayap yang dengan pongah menatap dari langit. Lalu hanya dengan mengangkat jari sebelah tangan, hasil perenungan bagai emas berjatuhan, jadi rebutan khalayak. Tidak. Itu dongeng. Mitos.

   Teater adalah pemaparan pemikiran, kritik dan otokritik. Salah satu upaya pencarian jalan menuju kebahagiaan. Teater bisa mengandung berbagai pertanyaan yang seringkali tak terjawab. Tapi teater harus akrab dengan masyarakatnya. Menjadi magnit, dibutuhkan. Sebab, sumber teater adalah kehidupan dan alam semesta. Kisah manusia menjadi titik pusatnya.

    Teater bukan obat batuk ‘ampuh’ yang langsung menyembuhkan. Teater juga bukan kamus yang serba tahu. Bisajadi, teater cuma kumpulan pertanyaan yang jawabannya harus dicari bersama. Teater adalah investasi kultural jangka panjang. Jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya ditilik lagi, berulang kali, mengapa sampai tidak dipahami. Mungkin ada bagian yang magol dan tak komunikatif. Atau mungkin, hasil keseniannya buruk. Bahkan Teater pun harus senantiasa bercermin, selalu berupaya meneliti kembali semua kekurangan dan kelebihan. Dan masyarakat adalah ‘cermin yang bening’ bagi teater. Jangan sampai melupakan hal yang sangat penting itu.

    Saya kurang setuju jika seniman teater hanya berkubang di dalam lingkar-teaternya saja. Seperti katak dalam tempurung. Seniman teater sebaiknya seperti para seniman Bali, yang ketika tidak berkesenian adalah petani-petani tekun yang mencintai tanah dan bumi. Atau seperti para pemain lenong, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak atau kuli pelabuhan.

    Bekerja. Itu kata kunci yang utama. Keakraban dengan kehidupan nyata adalah sumber daya kreatif para seniman teater. Bukan sebuah ‘istana asap’ yang harus diciptakan. Karena pada suatu ketika, akan diketahui bahwa yang dibangun hanyalah ‘istana asap’ belaka. Lalu akan datang kekecewaan dan teater pun ‘dibenci’.