TEATER KOMA menggelar REPUBLIK PETRUKRAJA PETRUK BELGEDUWELBEH TONGTONGSOT bilang; “Demokrasi yang kureformasi itu, artinya, Serba Boleh Ye ..” Memasuki usianya yang ke-32 (1977-2009), TEATER KOMA kembali hadir dengan pentas terbaru: REPUBLIK PETRUK. Lakon kocak, getir dan konyol. Kental musik, nyanyi dan tari. Kisah tentang pemimpin yang bukan pemimpin, cuma badut belaka. Ibarat cermin buram negri kita. Produksi ke-116 ini merupakan lakon pamungkas dari TRILOGI REPUBLIK, menyusul REPUBLIK BAGONG (2001) dan REPUBLIK TOGOG (2004). Digelar di Graha Bhakti Budaya, PKJ-TIM, pada 9 hingga 25 Januari 2009, setiap pukul 19.30 WIB. Lakon yang ditulis dan disutradarai N. RIANTIARNO ini, didukung para aktor handal; Budi Ros, Ratna Riantiarno, Rita Matumona, Salim Bungsu, Cornelia Agatha, Dudung Hadi, Emanuel Handoyo, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, Supartono JW, Budi Suryadi, Sriyatun dan Tuti Hartati. Alkisah, setelah dititipi Jimat Kalimasada, pusaka Pandawa, Petruk diprovokasi dewa Kaladurgi dan Kanekaratena, agar memanfaatkan jimat titipan itu. Petruk pun tergoda. Dan berkat tuah Jimat Kalimasada, Petruk berhasil menaklukkan Kerajaan Lojitengara. Lalu dia merekrut diri sebagai raja bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot. Maka, reformasi politik pun terjadi. Apa saja diperbolehkan. Korupsi, asal tak ketahuan, oke-oke saja. Gegeran tak kunjung henti. Konon, jika negri berhasil dirajai Petruk, maka hilang sudah harapan untuk meraih masa depan lebih baik. Semua berhenti pada wacana. Bicara serasa berbuat. Tersenyum serasa sudah berjasa. Janji-janji senilai sampah saja. Jadi, haruskah berhenti? Atau menghentikan cara Petruk memerintah? Atau hanya diam, menunggu segalanya hancur, licin tandas tanpa sisa, sehingga kita tak lagi punya apa-apa? Tapi siapa mampu menggantikan Petruk Belgeduwelbeh? Dan nampaknya, kondisi ‘Serba Boleh Ye’ itu, masih terus berlangsung. Hingga sekarang. Skenografi SYAEFUL ANWAR, Co-Sutradara OHAN ADIPUTRA, Penata Musik IDRUS MADANI, Penata Gerak ELLY LUTHAN, Penata Cahaya DONNY BIRKOED, Penata Busana ALEX FATAHILLAH, Penata Rias & Rambut SENA SUKARYA, Penata Suara TOTOM KODRAT, Penata Grafis SAUT IRIANTO MANIK, Pengarah Teknik TINTON PRIANGGORO, Manajer Panggung SARI MADJID dan Pimpinan Produksi RATNA RIANTIARNO.
TEATER KOMA 32 TAHUN(1977-2009)
Tanpa terasa, tahun ini, 2009, usia TEATER KOMA menuju ke-32 warsa. Tepatnya, didirikan di Jalan Setiabudi Barat No.4, Jakarta Selatan, pada 1 Maret 1977. Nama grup yang dipilih; TEATER KOMA. Koma, sebuah metafora yang mengartikan ‘gerak berkelanjutan, senantiasa berjalan, tiada ada henti, tak mengenal titik’. Demikian harapan yang disandang kala itu. Memiliki nafas panjang, senantiasa berkiprah, mengembara dalam ruang kreatifitas, terus mencari dan berupaya menemukan hal-hal yang bermakna. Pentas perdananya; Rumah Kertas, karya dan sutradara N. Riantiarno. Tempat pertunjukan; Teater Tertutup Pusat Kesenian Jakarta TAMAN ISMAIL MARZUKI. Tanggalnya, 2-3 dan 4 Agustus 1977. Memang hanya tiga malam. Samasekali tak diduga, pementasan kedua Maaf.Maaf.Maaf. (1978), digelar 5 malam. Pentas ketiga, J.J (1979), 7 malam. Opera Ikan Asin (1983), saduran dari The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, digelar 10 malam dan pentas-pentas selanjutnya rata-rata digelar 2 minggu. Tapi Opera Para Binatang (1986), saduran dari Animal Farm karya George Orwell, digelar 23 malam. Dan Sampek Engtay (1999-2000) digelar 22 hari dengan pementasan sebanyak 26 kali. Sampek Engtay malah berhasil menyabet anugerah MURI (Musium Rekor Indonesia) sebagai sandiwara terlama dipentaskan, 16 tahun (1988-2004), dengan pergelaran sebanyak 80 kali. Pentas-pentas TEATER KOMA agaknya kena di hati masyarakat. Mengikat kalbu sehingga mereka rela jadi penonton setia. Menurut hasil sebuah survei, penonton TEATER KOMA yang setia menonton hingga sekarang, berjumlah sekitar 50% dari seluruh jumlah penonton. Ternyata telah terjadi regenerasi pula di kalangan penonton. Tiga generasi (kakek, anak, cucu) sering menonton bersama. Hal yang sangat mengharukan. Dan tentu saja menggembirakan. Fenomena unik, kata para pengamat. Dalam perjalanan, memang terjadi berbagai hal yang memprihatinkan. Antara lain interogasi aparat terhadap N. Riantiarno, kecurigaan, pencekalan dan pelarangan, juga ancaman bom. Apa boleh buat, semua itu diikhlaskan sebagai dinamika perjalanan kreatifitas berteater. Dan alhamdullillah, sejauh ini masih bisa dilakoni dengan tenang dan damai. Bagaimanapun, masing-masifng pihak telah bekerja sesuai tugasnya. Satu harapan timbul, semoga perdebatan (atau perbenturan persepsi) yang berangkat dari perbedaan sudut pandang itu bisa menjadi wacana yang bermanfaat bagi kehidupan kesenian di masa-masa mendatang. Dan bukan bersifat melulu politis yang hanya menerbitkan kebencian, apalagi permusuhan. Konon, perbedaan adalah anugerah dalam upaya merajut masa depan yang jauh lebih baik. Meski harapan itu seringkali tak terwujud, sikap ‘koma’ tetap diyakini. Berfikir positif, harapan tak boleh pupus. Barangkali ini, salah satunya, yang membikin TEATER KOMA masih berkiprah. TEATER KOMA, kelompok teater independen yang bersifat non-profit (nir laba). Anggotanya tak hidup dari penghasilan kelompok, tak mengandalkan perolehan dari pergelaran. Sebagian besar memiliki pekerjaan lain di luar kelompok. Bagi sebagian anggota yang memilih teater sebagai ‘jalan hidup’, akibat kegiatannya (yang nyaris tak menghasilkan uang) diyakini sebagai resiko dari sebuah pilihan. Bukan jaminan TEATER KOMA didatangi banyak penonton, ataupun keberhasilannya dalam meraih sponsor. Seluruh biaya produksi, jika dihitung secara benar dan rinci, selalu takkan bisa ditutup dari hasil perolehan karcis dan sponsor sekalipun. Ini kenyataan. TEATER KOMA adalah paguyuban kesenian, bukan perusahaan. Kegiatannya tetap bersifat amatir, dalam pengertian; ‘anggotanya tak memperoleh hasil dari pekerjaannya sebagai penopang utama biaya hidup sehari-hari’. Mereka mensubsidi sendiri kegiatannya, sebuah ‘hobi serius’ yang dilakoni secara dedikatif, ikhlas dan gembira. Ini penting diungkap, karena selama ini sering terjadi salah pengertian. Pada kenyataannya, setiap kali merancang produksi, modal awal kadang dirogoh dari kantong pribadi, atau ‘bantingan’ (ditanggung bersama). Dan itulah yang masih tetap terjadi, hingga sekarang. Meski banyak yang menganggap manajemen TEATER KOMA patut diacungi jempol, kondisi keuangan kelompok, serupa dengan grup-grup teater yang ada di tanah air. Selalu pusing kepala dan lintang-pukang setiap kali merencanakan produksi baru. Keikhlasan hati para anggota dalam menyikapi kondisi tersebut, juga kesetiaan para penonton hadir dalam pentas dengan membeli karcis, merupakan modal utama. Barangkali, hal ini pula yang membikin TEATER KOMA mampu bertahan. Dalam kondisi dan situasi sesulit apa pun, para anggota berikrar terus merancang kegiatan dan senantiasa berupaya tetap kreatif. Pada kesempatan ini, mewakili Keluarga Besar TEATER KOMA, saya menyucap beribu terimakasih kepada semua pihak yang selama ini tetap setia mendukung. Dukungan Anda amat sangat berarti, membikin kami tetap bernafas. Sejak awal, kami menganggap; ‘TEATER KOMA bagai ikan dan masyarakat adalah airnya’. Tanpa Anda, yang diibaratkan air, ikan tak mungkin bisa hidup. Tanpa Anda, kami bukan apa-apa. Kami tak tahu apa akan terjadi esok hari. Itu sebabnya kami tak berani lagi merancang rencana mendatang, meski kami berikrar; kegiatan seni pertunjukan harus tetap ada. Tak peduli kehidupan yang semakin sulit dan persaingan begitu keras, juga biaya produksi yang kian mahal, sedang pemerintah nampaknya tetap kurang peduli terhadap pengembangan kesenian, terutama seni pertunjukan modern, panggung teater harus tetap terisi dan hidup. Memang sebuah kenyataan bahwa, Masyarakat Teater Modern Indonesia sering merasa, pemerintah nyaris tak memiliki: Atensi, Visi, Strategi, Transparansi dan Aksi (‘tindakan terkonsep yang berkelanjutan’). Teater Modern Indonesia, sejauh ini bergerak dan berjalan sendiri, dengan cara-cara yang kreatif membentuk masyarakatnya sendiri. Kondisi semacam itu, sekaligus memberitahu seakan pemerintah tak merasa memiliki Teater Modern Indonesia. Sikapnya memberi kesan tak bersahabat, malah sering bercuriga, menganggap kandungan Teater Modern Indonesia sarat dengan muatan politik. Maka, tak heran jika harus dicurigai, dan bilamana perlu, diberangus, dilarang naik pentas. Tapi, apa pun terjadi, ‘The Show Must Go On’. Ada dukungan dari pemerintah ataupun tidak ada, ada ‘pembinaan’ ataupun malah ‘pembinasaan’, Teater Modern Indonesia harus tetap berkiprah. Inilah sikap teguh dari sebuah pilihan. Ikrar melakoni lakon yang sudah digariskan oleh kreatifitas. Sebuah lakon teater yang ‘koma’, senantiasa berkelanjutan dan hidup! Tahun 2009 adalah tahun ke-32 TEATER KOMA. Pergelaran sandiwara Republik Petruk merupakan awal rangkaian kegiatan menyambut usia kelompok teater yang sudah bergerak melewati garis ‘tiga dasawarsa’. Mengapa Republik Petruk dipilih TEATER KOMA? Lakon ini ibarat cermin buram negri kita. Lakon yang tragis, kocak, getir dan konyol. Kisah tentang pemimpin yang sesungguhnya bukan pemimpin, melainkan hanya badut belaka. Petruk menjadi raja bergelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot akibat tuah jimat titipan. Ketika dia naik tahta, gegeran pun terjadi tak kunjung henti. Konon, jika sebuah negri berhasil dirajai Petruk, maka seakan hilang sudah harapan meraih masa depan yang lebih baik. Semua berhenti hanya pada wacana. Bicara serasa berbuat. Tersenyum serasa sudah berjasa. Dan janji-janji senilai sampah saja. Jadi, haruskah berhenti? Atau menghentikan cara Petruk memerintah? Atau diam saja, menunggu segala hancur, licin tandas tanpa sisa sehingga kita tak lagi punya apa-apa? Inilah pertanyaan utama. Dan rasanya, sudah waktunya jawaban diperoleh. Kalau bukan sekarang, lalu bila? Waktu sungguh sangat mendesak. Perdagangan Global menghadang. Di mata dunia, dua opsi jadi taruhan; apakah kita mampu jadi ARYA atau malah dipaksa jadi PARIA? Anda yang berhak menjawab. Bukan penguasa. Terimakasih sekali lagi. Mohon doa restu agar kami memiliki nafas panjang dan tetap mampu mewujudkan hasil kreatifitas yang positif.
Jakarta, Januari 2009.
Salam hangat, RATNA RIANTIARNO
REPUBLIK PETRUKRingkas KisahREPUBLIK PETRUK, adalah produksi TEATER KOMA yang ke-116. Lakon ini merupakan Trilogi Ketiga dari serial KISAH-KISAH REPUBLIK. Trilogi Pertama; REPUBLIK BAGONG, dipentaskan sebagai produksike-95 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, April hingga Mei 2001. Trilogi Kedua; REPUBLIK TOGOG, digelar sebagai produksi ke-103, di Gedung Kesenian Jakarta dan GBB-TIM, Juli hingga Agustus dan Desember 2004. Kisah bermula, saat Mustakaweni berhasil mencuri Jimat Kalimasada, Pusaka Pandawa, dengan cara menyamar sebagai Gatotkaca. Srikandi, perempuan pahlawan itu, tak mampu merebut kembali Kalimasada. Pada saat bersamaan, datang satria bagus bernama Priambada. Dia sedang mencari ayahnya, Arjuna. Srikandi sedia menolong dengan syarat: Sang Satria harus merebut kembali Jimat Kalimasada. Priambada bersedia. Maka terjadilah perebutan yang asyik dan seru. Mustakaweni ternyata jatuh hati dan membiarkan Priambada merebut Jimat Kalimasada, meski tetap pura-pura melawan. Karena kerepotan, Priambada menitipkan Jimat Kalimasada kepada Petruk. Alkisah, dua dewa; Kaladurgi dan Kanekaratena, memprovokasi agar Petruk memanfaatkan tuah Jimat Kalimasada. “Titipan harus dimaksimalkan, kekuasaan di depan mata, peluang tak bakal datang dua kali.” Akhirnya Petruk tergoda. Dan berkat tuah Jimat Kalimasada, Petruk berhasil menaklukkan Kerajaan Lojitengara. Lalu dia diangkat sebagai Raja bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot. Maka, terjadilah reformasi politik. Apa saja diperbolehkan. Korupsi, asal tidak ketahuan, oke-oke saja. Dengan lantang Petruk berkata;“Demokrasi yang kureformasi adalah; Serba Boleh Ye ..” Lojitengara makmur, pejabat takut korupsi. Para polisi bersikap baik, dedikatif. KKN dan berbagai penyelewengan, atas nama demokrasi, memang marak .. tapi terkendali. Prabu Belgeduwelbeh santai saja. Malah dia banyak makan, banyak menyanyi dan banyak menari. Raja-raja lain yang merasa terganggu dan menyerbu Lojitengara lalu dikalahkan, tidak diperbudak oleh Petruk Belgeduwelbeh, melainkan diangkat sebagai saudara dan direkrut jadi sekutu. Siapa mampu menggantikan Petruk Belgeduwelbeh? Sebab, nampaknya, kondisi ‘Serba Boleh Ye’ itu, masih terus berlangsung.
| |
PARA PELAKON | |
Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot ---- Ambarawati ---- Cangik ---- Limbuk ----
Narada/Kanekaratena ---- Guru/Kaladurgi ----
Mustakaweni ---- Priambada ----
Semar ---- Gareng ---- Bagong ----
Arya Dundungbikung ---- Aria Gentonglodong ---- Jaewana ---- Arya Ritalubing ---- Sontoloyo ---- Lengkungkusuma ----
Kresna ---- Yudistira ---- Bima ---- Arjuna ---- Nakula ---- Sadewa ---- Drupadi ---- Sumbadra ---- Srikandi ---- Gatotkaca ----
| ---- BUDI ROS ---- RATNA RIANTIARNO ---- RITA MATUMONA ---- TUTI HARTATI
---- DUDUNG HADI ---- BUDI SURYADI
---- CORNELIA AGATHA ---- RANGGA RIANTIARNO
---- SUPARTONO JW ---- EMANUEL HANDOYO ---- DORIAS PRIBADI
---- SALIM BUNGSU ---- ASMIN TIMBIL ---- TONY TOKIM ---- YOGA SETYONO ---- JUK NG ---- MICHAEL YOGI ---- VINCENT SINAGA
---- ALEX FATAHILLAH ---- BAYU DHARMAWAN ---- HENGKY GUNAWAN ---- DESSY MULASARI ---- SENA SUKARYA ---- JAIM/ANDO ---- SRIYATUN ---- RATNA ULLY ---- HERLINA SYARIFUDIN ---- PAULUS SIMANGUNSONG ---- YULIUS BUYUNG |
Bidadari ANGGA YASTI, FRANSISCA SUSANTI, INA KAKA,HERLINA SYARIFUDIN, ANDHINI PUTRI, FARACH, ERVIKA |
Penari Perang ANGGA, SUNTEA, DESMUL, HERLINA, ARA, DHINI, VIKA,BAYU, JAIM, JAE, ANDO, MUNA, BAGYA, CACUK |
PARA PEKERJA | |
Karya & Sutradara ---- Co. Sutradara ----
Pimpinan Produksi ---- Pimpinan Panggung ---- Pengarah Teknik ----
Skenografi ---- Penata Musik ---- Penata Gerak ---- Penata Cahaya ---- Penata Suara & Akustik ---- Penata Busana ---- Penata Rias & Rambut ---- Penata Grafis ----
Para Pemusik ----
Pesinden ----
Penanggungjawab Set & Property ---- Tim Artistik ----
Pencatat ---- Urusan Busana ---- Urusan Rias & Rambut ---- Urusan Keuangan ---- Urusan Kesehatan ---- Urusan Konsumsi ----
Urusan Latihan ---- Urusan Tata Cahaya ---- Urusan Tata Suara ---- Urusan Sponsorship ---- Urusan Tiket ---- Urusan Publikasi ---- Urusan Dokumentasi ---- Urusan Umum ---- Urusan Sekretariat ---- | ---- N. RIANTIARNO ---- OHAN ADIPUTRA
---- RATNA RIANTIARNO ---- SARI MADJID ---- TINTON PRIANGGORO
---- SYAEFUL ANWAR ---- IDRUS MADANI ---- ELLY LUTHAN ---- DONNY BIRKOED ---- TOTOM KODRAT ---- ALEX FATAHILLAH ---- SENA SUKARYA ---- SAUT IRIANTO MANIK
---- IDRUS MADANI, OHAN ADIPUTRA, EKO PARTITUR, ---- BUDI INDERA CAHAYA, GLEN RANDELL, TOTO SOKLE, ---- FERRO, MEDWIN, PANJI, NINO, TIKNO, ROY, ROTO
---- BUDI INDERA CAHAYA, ---- NAOMI LUMBAN GAOL, AJENG DK
---- DORIAS PRIBADI ---- MASNUN, CACINK, CACUK, TOKIM, TASRI ---- PANJUL, PAUL, JAE, ANDO
---- ASMIN TIMBIL, HERLINA, JAE ---- ANGGA, MAKIBO, INDRI ---- DESSY M, PAIJO, JOJO ---- ASMIN TIMBIL ---- Dr. UMAR SAID ---- ANNEKE SIHOMBING, ANDHINI, ---- FARACH DH, YUNI ---- BAYU, CACUK ---- PKJ-TIM ---- JIMMY ADI, PKJ-TIM ---- TIM TEATER KOMA ---- SUNTEA, INA, AMY, SHENY, PKJ-TIM ---- TIM TEATER KOMA, PKJ-TIM ---- LOGO SITUMORANG, VANA BAYU KUSUMA ---- YOGA, YOGI, RANGGA, VINCENT, HENGKY ---- DIKA, MICHAEL S, DONNY S, PAULUS |